Jumat, 24 Februari 2017

Analisis Cerpen Dari Masa Ke Masa (kumpulan cerpen Rubuhnya Surau Kami)


ANALISIS CERPEN DARI MASA KE MASA



UAS



Untuk memenuhi tugas ujian akhir mata kuliah Apresiasi Prosa

Diampu oleh Dian Etika Sari, M.Pd.















 















Oleh:





Binti Sholikhah                       (17210153018)















INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI TULUNGAGUNG

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

JURUSAN TADRIS BAHASA INDONESIA

Desember, 2016






1.1  Cerpen Dari Masa Ke Masa



Waktu saya muda dulu, sekitar usia dua puluh tahun, saya sering dongkol pada orang tua-tua. Bayangkanlah, setiap apa pun yang akan kami lakukan selalu kena tuntut agar minta nasihat dulu, minta restu dulu ada orang tua-tua. Memang tidak ada paksaan. Tapi selalu saja ada pesan-pesan agar sebelum kami mulai melaksanakan kegiatan kami, sebaiknya kami berbicara dengan Bapak Anu, Bapak Polan, Bapak Tahu, atau pada bapak sekalian bapak.
Saya memang selalu tukang dongkol, karena kepada kami-kami saja pesan itu disampaikan. Tapi tidak pernah disampaikan pada teman-teman kami yang memanggul senjata, yang mau ke front pertempuran. Padahal pekerjaan itulah yang paling berat risikonya.

"Siapa tahu kalau yang kalian kerjakan keliru," kata yang selalu suka memberi saran.
"Itu risiko kami," kata saya menimpali.
"Saya tahu. Tapi kan lebih baik kalau risikonya tidak ada," katanya pula.
"Tapi kenapa teman-temannya yang mau pergi perang itu tidak disuruh minta nasihat dulu?" tanya saya karena masih dongkol.
"Proklamasi telah lebih dulu merestui mereka. Malah menganjurkannya," kilah orang yang selalu suka memberi saran itu.

Biasanya kami jadi bimbang. Lalu terpaksa jugalah kami boyong ke rumah semua orang-orang tua yang patut-patut itu.

Anak-anak muda waktu saya muda dulu punya kegiatan yang macam-macam jika tidak ikut memanggul senjata. Misalnya bikin sandiwara, ikut diskusi, mengadakan kursus, pameran. Bahkan juga pasar malam. Untuk setiap jenis kegiatan itu selalu saja ada orang tua-tua yang dikatakan ekspert untuk memberi nasihat dan restu sesuai dengan keahlian dan pengalamannya. Macam-macam cara masing-masing mereka menyambut kedatangan kami. Ada yang hangat sambutannya. Misalnya dengan salaman pakai guncangan tangan atau tepuk-tepuk di bahu kami. Ada yang lagi asyik menulis terus setelah tahu kami datang. Juga ada yang baru muncul setelah sejam kami menunggunya di ruang tamu.

Pada umumnya oleh orang tua-tua itu kami diberi wejangan yang tak pernah pendek-pendek, selalu panjang berjela-jela sampai pantat kami gelisah, bukan karena penat saja, tapi juga karena digigit kepinding, sejenis kutu busuk yang dikatakan bangsat oleh orang Jakarta. Bukan main dongkolnya kami. Lebih-lebih saya yang memang pendongkol nomor satu di antara teman-teman. Betapa tidak. Sudah menunggu begitu lama, lalu diberi wejangan panjang-panjang yang sering tidak ada sangkut-pautnya dengan umsan kami, lalu digigit kepinding pula. Sungguh jahanam bangsat itu.

Kata saya dalam hati, kalau teman-teman kami yang prajurit itu harus menerima wejangan sepanjang itu bila hendak pergi ke front, pastilah serdadu musuh sudah menanti di balik pintu.

Lama-lama, setelah berpengalaman cukup banyak, saya bisa menarik kesimpulan tentang sikap orang-orang tua itu. Kalau orangnya orang partai, sambutannya selalu hangat pada kami orang muda. Kalau orangnya orang pandai, yang pada umumnya bekas guru, kedatangan kami selalu disambut di kala mereka sedang sibuk. Entah sedang menulis, entah sedang membaca, dan tidak jarang pula sedang memangkas tanaman bunga di halaman rumahnya. Tapi kalau ia pejabat, apa ia orang partai atau orang pandai, mereka selalu suka membiarkan kami menunggu berlama-lama di ruang tamu. Hal yang sama dilakukannya bila datang ke kantor atau rumahnya.

Betapa tidak enaknya diperlakukan demikian, namun prosedur memuliakan orang tua-tua itu tak dapat dihindarkan, kalau kami mau aman dalam kegiatan kami.

Bertahun-tahun kemudian saya menarik kesimpulan, bahwa orang tua-tua itu bersikap demikian kepada kami orang muda-muda dulu itu, karena mereka tengah memelihara posisinya yang tinggal sekomeng lagi, karena kekuasaan revolusi tidak berada di tangan mereka. Lebih susah lagi, kalau kami berhasil dengan gemilang dalam melaksanakan kegiatan kami. Kami akan selalu direpotkan orang tua-tua itu. Malah tambah sering kami sukses, tambah repotlah kami. Mereka pada mendesak kami agar memintanya menjadi penasihat kamilah, pelindung kamilah. Bahkan ada di antara mereka yang bergembar-gembor ke mana-mana, bahwa kami adalah anak-asuhannyalah, kadernyalah. Claim mereka itu bukan menyenangkan, malahan sangat menyulitkan kami. Sebab pada waktu saya muda dulu, partai-partai sangat banyak. Dan mereka semua saling sengit dalam berjor-joran. Kalau satu orang telah kami minta jadi penasihat kami, atau biarkan mereka "meng-claim" kami, maka orang lain yang berlainan partai akan membilang kami sebagai "mantel" partai anu, sehingga orang partai lain bisa sakit hati. Tak jarang terjadi kami terkena intrik dari pihak yang tidak suka. Hal-hal yang memang membingungkan, menyusahkan, bahkan juga menimbulkan kecewa dan mematahkan semangat. Dan saya jadi tambah dongkol lagi.

Waktu saya muda dulu, suatu sukses bukanlah hal yang menyenangkan. Kalaupun ada kesenangan, saatnya sangatlah pendek sekali. Yaitu hanya ketika sukses itu terjadi. Habis itu, kesukaranlah yang datang bertalu. Kesukaran yang menyakitkan. Karena setiap sukses yang kami peroleh selalu mengundang perpecahan di kalangan kami sendiri. Mulanya saya tidak tahu, kenapa setiap sukses selalu membawa bencana. Tapi lama-lama saya mengerti juga. Dan itu mencengangkan saya benar. Menurut analisanya ialah begini. Setiap anak muda yang berhasil atau suatu organisasi yang sukses, selalu ada tangan orang-orang tua itu ingin mencaplok untuk memasukkan kami ke dalam mantelnya. Kalau organisasi kami tidak bisa mereka caplok secara utuh, maka anggota kamilah yang mereka preteli seorang demi seorang. Terutama anggota yang potensial, kalau tidak anggota pengurus. Ada banyak yang berhasil dicaplok atau dimanteli.

Setelah sukses demi sukses tercapai, organisasi yang waktu didirikan berdasar semangat kesatuan hati untuk mencapai cita-cita bersama, lalu menjadikan organisasi itu sebagai wadah tempat kami saling cakar-cakaran. Setiap rapat selalu menghasilkan kesepakatan untuk tidak sepakat lagi. Setiap pengurus, lebih-lebih ketua, selalu menjadi bulan-bulanan serangan anggota. Kesatuan hati semula, akhirnya membentuk hati yang satu-satu. Ada yang ngambek, lalu mundur tanpa teratur. Organisasi yang mulanya menimbulkan kebanggaan di dalam hati kami masing-masing, lalu berubah menjadi tempat melampiaskan segala kutukan. Beberapa orang yang gigih mencoba untuk bertahan, tapi praktisnya organisasi kami tidak berdarah lagi. Kegiatan lama-lama sirna. Yang tinggal hanya nama yang tertera pada papan yang tergantung dan terbuai-buai bila ditiup angin.

Saya termasuk orang yang menangisi keadaan itu. Dan, dalam hati saya, bila saya telah menjadi orang tua kelak, apa yang tidak saya sukai ketika saya muda, takkan saya lakukan seperti apa yang dilakukan orang tua-tua ketika saya masih muda dulu. Begitu menyentak datangnya, ketika orang-orang muda secara bergelombang menemui saya minta restu, minta nasihat, minta pendapat, dan juga minta bantuan uang dan tanda tangan. Saya menoleh ke sekeliling, terutama pada teman sebaya saya, yang dulu sama giatnya dengan saya. Saya boleh mengembangkan dada menjadi orang yang dikagumi, dihormati. Memang menyenangkan bila punya status demikian. Tapi lebih menyenangkan lagi apabila menjadi tempat hidup orang menggantung, menjadi setiap kata yang dikatakan menjadi hukum yang tak boleh disanggah. Namun lebih nikmat rasanya apabila secara diam-diam saya mendengar orang-orang muda itu berkata pada teman-temannya, "Sudah bicara pada Pak Navis? Belum? Jangan bikin apa-apa dulu sebelum bicara padanya?"

Akan tetapi orang-orang muda sekarang berbeda jauh dari orang-orang muda masa dulu. Pendidikan orang muda sekarang lebih tinggi, ayah-ayah mereka lebih kaya bahkan lebih berkuasa. Karenanya fasilitas mereka lebih punya. Omongan mereka lebih ceplas-ceplos. Bagaimana saya harus menghadapi mereka agar saya kelihatan tetap potensial? Lalu saya teringat pada orang tua-tua masa saya muda dulu. Gaya ramah-tamah Pak Tamin yang orang partai itu, sekarang tak laku lagi karena partai pun tidak laku. Gaya orang pandai seperti Guru Munap juga tak mungkin lagi, sebab sekarang sudah banyak sekali orang yang lebih pandai dari segala orang pandai-pandai dulu. Jika memakai gaya pejabat, tapi saya bukan pejabat dan karenanya saya tidak mungkin menggunakan peran sebagai orang yang berwibawa tinggi.

Saya juga mempertimbangkan betapa bedanya kondisi sekarang dengan masa dulu. Orang-orang muda yang giat menjadi rebutan masa dulu. Mereka didukung dengan perhatian yang penuh, didengar apa yang diingininya. Bahkan didorong semangatnya agar bisa berbuat banyak. Bahkan kalau perlu disuruh melabrak orang tuanya sendiri. Sedangkan kondisi sekarang sudah lain. Tidak ada pihakpihak yang berkepentingan untuk mempengaruhi orang-orang muda sekarang. Kalaupun masih ada, permainan tidak lagi seimbang. Orang-orang muda sekarang lebih mudah digembalakan. Sebab tidak ada lagi pihak-pihak yang secara gampang memuja-mujanya. Bagi orang-orang muda sekarang, yang dipuji bukan lagi semangat dan keberaniannya, melainkan prestasi otak dan keahliannya. Dan itu tidak mudah diperolehnya karena bersifat sangat individual. Karena itulah barangkali umur orang-orang muda sekarang lebih panjang, sampai berusia empat puluh tahun.

Ketika saya ketemu dengan sobat masa muda yang baru kembali dari posnya sebagai diplomat di luar negri, kami membanding-bandingkan apa yang telah kami lakukan dalam usia yang sama dengan orang-orang muda sekarang. Pada waktu orang-orang muda sekarang masih sekolah, orang-orang muda dulu telah jadi komandan batalyon. Anak-anak sekolah SMA dulu, telah bisa menjadi guru bahkan direktur SMA swasta. Sedangkan anak-anak SMA sekarang, tidak bisa berbuat apa-apa. Dari sudut ini, Indonesia ternyata tidak maju.

"Mungkin karena dinamika orang-orang muda masa dulu yang menyebabkan saya dongkol melihat tingkah laku orang tua-tua yang sok-sokan. Sehingga saya berjanji dalam hati saya, jika saya telah tua, apa yang tidak saya sukai tentang tingkah laku orang tua-tua terhadap orang-orang muda, tidak akan saya lakukan," kata saya pada sobat itu setelah lama kami merenung-renung.

"Apa janji itu Bung lakukan?" tanya sobat saya yang bekas diplomat itu.
"Ya. Saya lakukan."
"Kenapa?"
"Karena saya percaya, apa pun yang dapat kita lakukan di waktu muda dulu, pastilah dapat dilakukan oleh orang-orang muda sekarang."
"Tapi nyatanya orang-orang muda sekarang begitu sulit melepaskan dirinya dari sifat kekanak-kanakannya."
"Kata kita. Tapi apa kata orang tua-tua kita dulu tentang kita?" tanya saya membalikkan alasannya.
"Coba Bung renungkan. Apabila orang-orang muda sekirang diberi peran yang sama seperti apa yang kita lakukan dulu, akan apa jadinya Republik ini?" .tanya sobat saya itu seraya membelalakkan matanya.


Tiba-tiba ketawa saya meledak, sehingga air mata saya pun berderai-derai. Lalu matanya yang membelalak jadi menyipit sebelum bertanya kenapa saya ketawa.


"Kinilah saya baru tahu, kerjaan kita yang terutama sekarang ialah membenahi akibat kerja kita masa lalu," kata saya yang masih belum dapat menghentikan ketawa.

Dan sobat saya itu memang diplomat, karena ia tersenyum saja oleh kata-kata saya itu. Seperti senyum anak-anak saya bila melihat bintang favoritnya tampil dalam acara "Dari Masa ke Masa" di televise.[1]






1.2  Pendekatan Mimetik

Pandangan pendekatan mimetik ini adalah adanya anggapan bahwa sastra merupakan tiruan alam atau penggambaran dunia dan kehidupan manusia di semesta raya ini. Sasaran yang dieliti adalah sejauh mana sastra merepresentasikan dunia nyata atau sernesta dan kemungkinan adanya intelektualitas dengan karya lain. Hubungan antara kenyataan dan rekaan dalam sastra adalah hubungan dialektis atau bertangga. Mimesis tidak mungkin tanpa kreasi, tetapi kreasi tidak mungkin tanpa mimesis.

Takaran dan perkaitan antara keduanya dapat berbeda menurut kebudayaannya, Menurut jenis sastra. Zaman kepribadian pengarang, tetapi yang satu tanpa yang lain tidak mungkin dan, catatan terakhir perpaduan antara kreasi dan mimesis tidak hanya berlaku dan Benar Untuk Penulis Sastra. Tak Kurang Pentingnya Untuk Pembaca, Dia Pun Harus Sadar bahwa menyambut karya sastra mengharuskan dia untuk memadukan aktivitas mimetik dengan kreatif mereka. Pemberian makna pada karya sastra berarti perjalanan bolak-balik yang tak berakhir antara dua kenyataan dan dunia khayalan. Karya sastra yang dilepaskan dan kenyataan kehilangan sesuatu yang hakiki, yaitu pelibatan pembaca dalam eksistensi selaku manusia. Pembaca sastra yang kehilangan daya imajinasi meniadakan sesuatu yang tak kurang esensial bagi manusia, yaitu alternatif terhadap eksistensi yang ada dengan segala keserbakekurangannya atau lebih sederhana berkat seni, sastra khususnya, manusia dapat hidup dalam perpaduan antara kenyataan dan impian, yang kedua-duanya hakiki untuk kita sebagai manusia.[2]

  Analisis teori mimetik pada cerpen Dari Masa Ke Masa  Karya A.A Navis disusun berdasarkan sistematika pembahasan, yaitu: 1) identifikasi aspek sosial dalam cerpen Dari Masa Ke Masa karya A.A Navis, 2) analisis aspek sosial dalam cerpen Dari Masa Ke Masa karya A.A Navis. Dalam cerpen Dari Masa Ke Masa karya A.A Navis ini dapat ditemukan beberapa masalah-masalah sosial. Adapun masalah-masalah sosial tersebut antara lain: 1) Patuh kepada tradisi, 2) Status sosial penentu perilaku, 3) Usaha mempertahankan posisi di masyarakat, 4) Perbedaan pandangan hidup setiap masa, dan 5) Kemunduran kaum muda.[3]



1.3 Analisis Cerpen Dari Masa Ke Masa dengan pendekatan Mimetik

1.3.1 Patuh kepada tradisi

Tradisi adalah segala sesuatu yang menjadi kebiasaan dari suatu kelompok manusia. Tradisi yang telah dipercayai oleh generasi sebelumnya mau tak mau harus dilaksanakan oleh generasi penerus. Apalagi jika tradisi itu sudah menyangkut tentang penghormatan kepada sesepuh atau orang yang dianggap bisa memberikan petuah-petuah, maka hal demikian menjadi hal sakral dan wajib dilaksanakan bagi siapa saja. Hal ini terlihat dari kutipan berikut.

Waktu saya muda dulu, sekitar usia dua puluh tahun, saya sering dongkol pada orag tua-tua. Bayangkanlah, setiap apa pun yang kami lakukan selalu kena tuntut agar kami minta nasihat dulu, minta restu dulu pada orang tua-tua. Memang tidak ada paksaan. Tapi selalu saja ada pesan-pesan agar sebelum kami mulai melaksanakn kegiatan kami, sebaiknya kami berbicara dengan Bapak Anu, Bapak Polan, Bapak Tahu, atau bapak sekalian bapak. [4]



Kutipan di atas menceritakan tokoh “saya” yang merasa kesal karena harus selalu meminta nasihat kepada orang-orang tua yang dianggap mempunyai peran di masyarakat setiap kali akan mengadakan kegiatan. Orang-orang tua yang selalu memberikan saran padanya selalu mengingatkan agar meminta nasihat kepada pada orang-orang terhormat itu agar dalam mengadakan kegiatan tidak mengalami masalah. Mereka percaya, bahwa dengan meminta nasihat dan restu maka kegiatan yang dilaksanakan akan berjalan lancar. Maka dari itu, tradisi tersebut selalu mereka ingatkan kepada kaum muda pada masa itu.



1.3.2        Status sosial penentu perilaku

Status sosial dalam masyarakat selalu berpengaruh terhadap bagaimana seseorang berperilaku dan bersikap. Hal ini merupakan cermin strata seseorang pada lingkungan masyaraktnya. Seseorang yang memiliki strata atau status sosial yang tinggi, biasanya akan bersikap dan berperilaku sesuai dengan tingkatannya, yaitu bersikap jual mahal dan sikap lain yang mencerminkan pangkatnya. Namun sebaliknya, seseorang yang memiliki status sosial yang rendah, maka secara otomatis akan menuruti orang yang berstatus tinggi. Perbedaan sikap dan perilaku ini sudah menjadi budaya di kalangan masyarakat. Dari zaman terdahulu sebelum kemerdekaan bahkan paska kemerdekaan hal demikian masih berlaku. Hal ini terlihat dari kutipan berikut.

Lama-lama, setelah berpengalaman cukup banyak, saya bisa menarik kesimpulan tentang sikap orang-orang tua itu. Kalau orangnya orang partai, sambutannya selalu hangat pada kami orang muda. Kalau orangnya orang pandai, yang pada umumnya bekas guru, kedatangan kami selalu disambut di kala mereka sedang sibuk. Entah sedang menulis, entah sedang membaca, dan tidak jarang pula sedang memangkas tanaman bunga di halaman rumahnya. Tapi kalau ia pejabat, apa ia orang partai atau orang pandai, mereka selalu suka membiarkan kami menunggu berlama-lama di ruang tamu. Hal yang sama dilakukannya bila datang ke kantor atau rumahnya.[5]



Kutipan di atas menceritakan tokoh ‘saya’ yang selalu mengamati tingkah laku orang-orang tua yang ia datangi sebelum melakukan segala kegiatan. Dari pengamatannya, akhirnya tokoh ‘saya’ dapat mengambil kesimpulan dari sekian banyak pengalamnnya tersebut, bahwa status sosial orang-orang tua yang ia datangi sangat berpengaruh terhadap cara mereka menyambutnya. Seseorang yang berlatar belakang seseorang politik atau partai, maka mereka akan cenderung bersikap hangat dalam penyambutan orang-orang muda yang datang. Hal itu sama seperti mereka menyambut hangat orang-orang yang mendukunngannya saat musim partai. Jika orang tua yang didatangi adalah seorang yang berpendidikan atau seorang guru, maka orang-orang muda akan menemuinya dengan segala kesibukaan. Karena sudah menjadi ciri khas, bahwa seseorang yang memiliki pendidikan tinggi akan menggunakan waktu dengan hal-hal yang bermanfaat dan tidak akan membuang waktu begitu saja dengan hal yang merugikan. Maka mereka selalu sibuk saat ditemui oleh orang-orang muda yang membutuhkannya. Lain lagi saat yang ditemui adalah seorang pejabat, mereka akan membiarkan orang-orang muda menunggu dengan lama. Hal itu sama persis, seperti yang dilakukan para pejabat yang merasa dibutuhkan oleh bawahan atau rakyatnya.



1.3.3        Usaha mempertahankan posisi di masyarakat

Seseorang yang telah memiliki posisi, terutama di tengah masyarakat akan enggan melepasnya saat posisi itu telah tidak cocok lagi untuknya. Mereka akan melakukan segala cara agar posisi mereka tidak lengser dan digantikan orang lain. Akan ada banyak cara yang dilakukan. Mereka akan membuat orang-orang disekelilingnya merasa bahwa dia sangat dibutuhkan dan harus mempertahankan. Salah satunya adalah membuat generasi-generasi muda tunduk dan patuh pada mereka. Sehingga generasi muda tidak akan mampu berbuat apa-apa tanpa mereka. Hal ini terlihat dari kutipan berikut.

Bertahun-tahun kemudian saya menarik kesimpulan, bahwa orang tua-tua itu bersikap demikian kepada kami orang muda-muda dulu itu, karena mereka tengah memelihara posisinya yang tinggal sekomeng lagi, karena kekuasaan revolusi tidak berada di tangan mereka.[6]



Kutipan di atas menceritakan bahwa tokoh ‘saya’ dari banyaknya pengalaman datang kepada orang-orang tua, mulai memahami inti dari tradisi yang membuatnya sering jengkel itu. Apa yang sebenarnya menjadi motivasi para orang tua untuk memberikan petuah dan wejangan pada kaum muda. Ternyata hal demikian itulah hanya untuk mempertahankan posisi mereka di tengah masyarakat. Mereka takut kedudukannya di lingkungan masyarakat tidak lagi dibutuhkan. Dengan selalu memberikan petuah kepada kaum muda, maka posisi orang-orang tua akan tetap jaya dan disegani dalam lingkungan masyarakatnya. Jika kaum muda yang datang padanya dan berhasil dalam melaksanakan kegiatan, maka orang-orang tua itu akan berebut untuk menjadikan kaum-kaum muda itu sebagai anak buahnya. Namun jika mereka tidak berhasil menarik organisasi muda itu secara keseluruhan, maka orang-orang tua itu akan menghasut satu persatu dari anggota kaum muda dan terjadilah kehancuran dalam organisasi itu. Semua itu agar keberadaan orang-orang tua tetap jaya dan tidak akan surut.



1.3.4        Perbedaan pandangan hidup setiap masa

Masa  sangat menentukan bagaimana orang yang hidup di dalamnya. Jika masa dahulu sebelum kemerdekaan kaum muda yang giat menjadi rebutan. Mereka yang mempunyai semangat tinggi dan kebenranian akan didukung penuh untuk selalu maju, selalu didengar tentang pendapat mereka, dan selalu dihargai karya-karya mereka. Akan banyak orang tua yang memuji. Namun hal demikian akan jauh berbeda dengan masa setelah kemerdekaan. Kaum muda tidak lagi gila akan pujian, karena memang hal yang seperti itu tidak mudah didapatkan dari para orang tua. Kaum muda akan cenderung bangga akan pujian jika mereka mampu unggul dalam prestasi dan akademiknya. Hal ini terlihat dari kutipan berikut.

Saya juga mempertimbangkan betapa bedanya kondisi sekarang dengan masa dulu. Orang-orang muda yang giat menjadi rebutan masa dulu. Mereka didukung dengan perhatian yang penuh, didengar apa yang diingininya. Bahkan didorong semangatnya agar bisa berbuat banyak. Bahkan kalau perlu disuruh melabrak orang tuanya sendiri.

Sedangkan kondisi sekarang sudah lain. Tidak ada pihakpihak yang berkepentingan untuk mempengaruhi orang-orang muda sekarang. Kalaupun masih ada, permainan tidak lagi seimbang. Orang-orang muda sekarang lebih mudah digembalakan. Sebab tidak ada lagi pihak-pihak yang secara gampang memuja-mujanya. Bagi orang-orang muda sekarang, yang dipuji bukan lagi semangat dan keberaniannya, melainkan prestasi otak dan keahliannya. [7]



Kutipan tersebut menceritakan sosok ‘saya’ yang telah menjadi orang tua. Dia merasakan betapa jauh perbedaan antara masa mudanya dan masa mudanya anak sekarang. Jika zaman dahulu, ia akan dipuji karena semangat dan keberaniaanya. Ia akan selalu mendapat petuah dari orang-orang yang dituakan di wilayahnya. Kini hal demikian sudah tidak ia temui di usia tuanya. Kaum muda masa sekarang jauh lebih gila pujian saat mereka bisa unggul dalam prestasi otak dan keahliaanya. Orang tua pada masa sekarang pun tidak lagi terlalu tidak akan ikut campur urusan kaum muda. Hal ini tentu sangat berbeda dengan masa muda tokoh ‘saya’ yang harus selalu meminta nasihat kepada orang-orang tua sebelum melakukan hal apapun. Tokoh ‘saya’ menyadari bahwa pandangan hidup kaum muda masa sekarang berbeda dengan masa terdahulu, juga keberadaan orang-orang tua kini tidak terlalu berpengaruh berbeda dengan masa sebelum merdeka.



1.3.5        Kemunduran kaum muda

Nasib bangsa sangat ditentukan oleh kaum muda yang merupakan penerusnya.   Kaum muda akan menentukan bagaimana bangsa itu di masa depan. Jika kaum muda itu adalah mereka yang mempunyai kemampuan dan kepribadian yang baik, maka bangsa itu akan tumbuh menjadi baik pula. Sebaliknya, jika kaum mudanya adalah mereka yang tidak mempunyai kepribadian yang baik dan justru bertabiat buruk, maka sudah bisa dipastikan bangsa itu akan mengalami kemunduran oleh penerusnya sendiri. Maka dari itu peran pemuda sangat penting sebagai kunci kesuksesan bangsa. Jika kaum muda justru mengalami kemunduran, akan ada banyak permasalahan yang timbul. Hal ini bisa dilihat dari kutipan berikut.

                Ketika saya ketemu dengan sobat masa muda yang baru kembali dari posnya sebagai diplomat di luar negri, kami membanding-bandingkan apa yang telah kami lakukan dalam usia yang sama dengan orang-orang muda sekarang..Pada waktu orang-orang muda sekarang masih sekolah, orang-orang muda dulu telah jadi komandan batalyon. Anak-anak sekolah SMA dulu, telah bisa menjadi guru bahkan direktur SMA swasta. Sedangkan anak-anak SMA sekarang, tidak bisa berbuat apa-apa. Dari sudut ini, Indonesia ternyata tidak maju….[8]



Kutipan di atas menceritakan tokoh ‘saya’ yang sedang berbincang-bincang dengan temannya saat muda dulu. Mereka bertemu saat mereka tidak lagi menjadi kaum, melainkan telah menjadi orang tua. Mereka membandingkan bagaimana kaum muda masa sekarang dan pada masanya sangat jauh berbeda. Pada masa muda mereka, seseorang yang telah mencapai pendidikan SMA bisa menjadi direktur SMA. Hal ini jauh berbeda dengan masa sekarang, pendidikan SMA bahkan hanya bisa menjadi karyawan biasa dan sejenisnya saja. Apalagi jika mereka tidak mempunyai keterampilan, maka mereka hanya akan menjadi patung hidup. Dalam hal semacam ini, Indonesia mengalami kemunduran untuk kaum mudanya.

Hal ini mungkin disebabkan karena tidak aktifnya para orang tua untuk memberikan petuah dan nasihat pada kaum muda saat ini, berbeda dengan kaum muda masa dulu yang harus selalu tunduk dengan nasihat-nasihat itu. Tokoh ‘saya’ sebelumnya berfikiran, bahwa ia tidak akan menerapkan cara pandang orang-orang tua pada masanya pada masa sekarang. Mungkin hal ini sama dengan prisip kaum-kaum muda masa dulu yang tidak akan menekan kaum muda saat mereka telah menjadi orang-orang tua. Kini tokoh ‘saya’ telah merubah pandangannya, ia dan orang-orang tua harus membenahi akibat  kesalahan cara pandang mereka yang menyebabkan kaum muda sekarang mengalami kemunduran.








DAFTAR RUJUKAN



Navis. 1986. Rubuhnya Surau Kami . Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

2010 . Sinopsis Dari Masa Ke Masa .(Online).(http://goesprih.blogspot.co.id/2010/07/aa-navis-dari-masa-ke-masa.html). di akses tanggal 09 Desember 2016



2012. Menganalisi Karya Sastra dengan Menggunakan Pendekatan Mimetik. (Online) (Https://Www.Scribd.Com/Doc/21268709/2012/Menganalisis-Karya-Sastra-Dengan-Menggunakan-Pendekatan-Mimetik). Di akses tanggal 10 Desember 2016



2012. Analisis Teori  Mimetik. (Online). http://rsbikaltim.blogspot.co.id/2012/02/analisis-teori-mimetik.html. Di akses tanggal 10 Desember 2016





[1] 2010 . Sinopsis Dari Masa Ke Masa .(Online).(http://goesprih.blogspot.co.id/2010/07/aa-navis-dari-masa-ke-masa.html). di akses tanggal 09 Desember 2016
[2]2012. Menganalisi Karya Sastra dengan Menggunakan Pendekatan Mimetik. (Online) (Https://Www.Scribd.Com/Doc/21268709/2012/Menganalisis-Karya-Sastra-Dengan-Menggunakan-Pendekatan-Mimetik). Di akses tanggal 10 Desember 2016
[3] 2012. Analisis Teori  Mimetik. (Online). http://rsbikaltim.blogspot.co.id/2012/02/analisis-teori-mimetik.html. Di akses tanggal 10 Desember 2016
[4]A.A Navis. Rubuhnya Surau Kami . (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama: 1986). hlm. 131
[5] A.A Navis. Rubuhnya Surau Kami . (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama: 1986). hlm. 133
[6] A.A Navis. Rubuhnya Surau Kami . (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama: 1986). hlm. 133
[7] A.A Navis. Rubuhnya Surau Kami . (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama: 1986). hlm. 136-137
[8] A.A Navis. Rubuhnya Surau Kami . (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama: 1986). hlm. 137

Contoh Teks Prosedur


Bermain Gobak Sodor

Oleh : Binti Solikhah



            Gobak sodor adalah permainan asli dari daerah Indonesia yang menuntut ketangkasan menyentuh badan lawan. Permainan ini sangat baik sebagai ajang olahraga, karena dalam permainannya diperlukan banyak gerakan. Namun ironisnya permainan yang sangat unik ini, kini telah jarang dimainkan oleh anak Indonesia atau bahkan telah punah dikalangan mereka. Hampir seluruh anak-anak kini lebih menyenangi permainan yang berbau teknologi, seperti game online. Namun sebenarnya dibandingkan permainan modern, permainan tradisional (gobak sodor) jauh lebih menyenangkan. Selain itu, permainan ini banyak memberikan pelajaran pada anak tentang bagaimana bekerjasama dengan kelompok dan berinteraksi dengan teman sepermainan. Oleh sebab itu, permainan tradisional gobak sodor harus dilestarikan dengan cara terus dimainkan oleh anak-anak. Berikut akan dipaparkan cara bermain gobak sodor yang mengasyikkan.

Cara bermain   :

1)      Terlebih dahulu, para pemain dibagi menjadi dua kelompok yang terdiri dari 3-5 orang (menyesuaikan dengan jumlah pemain).

2)      Setelah dibentuk menjadi dua kelompok, maka tahap selanjutnya adalah menentukan kelompok yang berjaga dan bermain.

3)      Selanjutnya, para pemain harus berada pada posisinya, yaitu kelompok yang mendapatkan giliran jaga harus berada pada garis vertical dan horizontal yang telah dibuat. Sedangkan kelompok yang mendapatkan giliran bermain harus berada pada posisi di depan garis start.

4)      Setelah semua kelompok siap, maka permainan bisa dimulai.

5)      Anggota kelompok jaga harus menjaga di masing-masing garis yang telah ditentukan dan boleh bergerak sepanjang garis tersebut untuk menyentuh anggota tim lawan.

6)      Kelompok yang bermain berdiri di garis yang paling depan dan berusaha menerobos garis-garis tersebut dan tidak boleh sampai tersentuh oleh kelompok yang jaga.

7)      Setelah berhasil menerobos garis paling akhir, mereka harus berusaha kembali ke tempat pertama mereka mulai.

8)      Bila berhasil, mereka akan mendapatkan satu nilai.

9)      Sedangkan bila ada anggota kelompok yang tersentuh berarti giliran berganti.

10)  Kelompok  yang tersentuh akan bertugas untuk menjaga.

11)  Kelompok  yang menang adalah yang mengumpulkan nilai paling banyak.

12)  Selamat mencoba permainan tradisonal gobak sodor yang menyenangkan.

Tetap mainkan permainan gobak sodor, supaya permainan tradisional Indonesia yang kini mengalami masa kepunahan bisa tetap lestari. Permainan ini sangat mengasyikkan dan menyehatkan karena didalamnya memerlukan keaktivan tubuh dibandingkan permainan modern yang cenderung hanya duduk di depan computer saja. Jadi marilah kita cintai budaya bangsa sendiri !







Contoh Teks Narasi


GITAR PENGHIDUPAN

Oleh : Binti Solikhah



            Lampu lalu lintas di perempatan kota itu telah menyalakan warna merahnya. Merah yang menjadi pertanda sesosok bocah kecil itu harus berlari menghampiri mobil-mobil yang berhenti. Bocah itu adalah Anto, seorang anak laki-laki yang bertubuh kecil, berkulit sawo matang, tidak terlalu tinggi, berpakaian kusam, memakai topi dan gitar yang selalu ditangannya. Langkah kakinya semakin cepat menghampiri salah satu mobil dari puluhan mobil dan kendaraan lain yang berhenti. Napasnya masih belum teratur saat  sampai di depan salah satu pintu mobil yang membuat bapak muda di dalamnya terheran-heran. Dia mulai beraksi dengan senyuman sebagai awal dari pekerjaannya.

” Permisi...numpang ngamen.“  kata Anto mulai mengeluarkan suara yang diteruskan dengan lantunan lagu ciptaannya

 Aku pengamen bukan sembarang pengamen

Yang tidak dapat uang terus jadi cengeng

Aku bocah bukan sembarang bocah

Yang tak ingin mengalah

Ku korbankan sekolah juga masa depan

Demi keluargaku yang tersayang

Tak perduli panas terik matahari

Yang penting dapat uang tuk beli nasi

Terima kasih saya sampaikan

Untuk Anda yang sudi memberi uang

Saya do’akan umur tetap panjang

Dan semoga disayang Tuhan

            Dengan lagu yang merupakan ringkasan kisah hidupnya, akhirnya uang kertas dan senyum ramah dari bapak muda itu ia dapatkan.

“ Terima kasih seribu kali Pak....” kata Anto disertai dengan senyuman

“ Kenapa seribu kali ? ” tanya bapak muda itu penasaran

“ Ini adalah penghormatan saya pada Bapak karena telah memberi saya uang seribu. Kan tidak mungkin saya bilang terima kasih sebanyak seribu kali, nanti keburu hijau lampunya “ jawab Anto dengan polos

“ Hahaha...kamu ini bisa saja. Kapan- kapan Bapak kasih lebih kalau bisa bertemu lagi “ kata bapak muda itu

“ Oke...saya permisi dulu ya Pak...” tambah Anto dengan disertai langkah kakinya menjauhi mobil itu dan mencari kendaraan lain

Baru beberapa langkah Anto berjalan, telinganya mendengar puluhan klakson berbunyi, matanya  melihat sorotan lampu di tiang tinggi itu berubah warna hiaju. Ia sudah mengerti apa yang harus dilakukan, segera menjauh dari aspal hitam yang membuat seakan terbakar sepasang kaki tanpa alas itu. Pohon di tepi jalan raya menjadi tujuan selanjutnya untuk berteduh dan menghitung uang hasil mengamen. Berharap jerih payahnya hari ini bisa mengisi perut kosongnya dan ibu yang ia kasihi.

“ Aaahh...dapat segini cukup buat makan. Alhamdulillah...! “ ujar Anto

            Namun raut wajahnya menampakkan kesedihan. Badannya dingin di bawah sengatan matahari. Air mata tak berhasil ia bendung dari kelopak matanya. Ia mengingkari lagunya sendiri, yang tak akan menangis. Terbesit dalam pikirannya, sosok kakak laki-laki yang selalu menyakiti hati ibunya. Seorang kakak yang tak patut disebut kakak. Seorang kakak yang hanya bisa merampas uang hasil keringatnya.

“ Anto...Anto...” terdengar suara teriakkan yang memanggil namanya dari seberang jalan. Ia menoleh ke arah suara itu. Ternyata itu adalah suara tetangganya, Sari.

“ Anto...abangmu ngamuk lagi..!! “ kata Sari dengan napas terengah-engah setelah sampai di depannya.

“ Dia mengaduk isi rumah dan...dan..mendorong ibumu Anto “ tambah Sari

“ Apa...?? “ kata Anto dengan kaget dan gitar penghidupannya jatuh di tanah

“ Benarkah apa yang kamu katakan Sari ? kau tak berdusta ? “ tambah Anto meyakinkan kebenaran berita itu

            Butiran air mata mengalir dari mata sayunya membasahi pipi yang berkeringat. Tubuhnya seakan-akan terbang terombang-ambing tertiup angin topan kejamnya kehidupan. Kini hatinya dalam dua kondisi, seberat baja karena merasakan ulah kakaknya, namun seringan kapas karena memikirkan keadaan ibunya. Tanpa menunggu jawaban Sari, secepat kilat ia mencoba sampai ke rumah reotnya. Tempat dimana ia dilahirkan dan berlindung dari panas hujan bersama ibunya.

            Sampai di rumah, ia dapati kakaknya berdiri tegap di teras rumah dan ibunya yang duduk sambil menundukkan kepala. Ibu terisak-isak dan justru kakaknya membusungkan dada dengan wajah beringasnya. Pemandangan yang paling membuatnya benci dan pening, lebih mengerikan daripada ganasnya jalanan. Ia berlari menghampiri ibunya yang terpuruk.

“ Ibu...Ibu baik-baik saja ?? apa yang ia lakukan disini ? “ tanya Anto pada ibunya. Namun yang ditanya hanya diam

“ Heehhh... gak punya mata ya ?? ini abang lo..main nylonong aja “ bentak kakaknya sambil melotot

“ Kamu bukan abangku. Kamu hanya preman brandalan yang menyakiti ibuku. Pergi ...!!! “ jawab Anto dengan setengah menjerit

“ Banyak bacot lo...mana uang ?? gue butuh uang..” bentak kakaknya dengan suara yang lebih keras

“ Gak ada uang untuk orang seperti kamu. Cari saja uang sendiri !! “ jawab Anto sambil memeluk ibunya

“ Songong lo ya...emangnya gitar yang lo buat cari duit itu punya lo ?? Itu punya gue. Udah baik, gue pinjemin ke lo. Giliran gue minta duit aja lo pelit amat  ” kata kakaknya tetap dengan nada tinggi

“ Gitar itu milik Babe, bukan milik kamu. Babe beli itu dengan hasil keringat bukan dari malak seperti kamu. Gitar itu untuk melangsungkan kehidupan bukan untuk kemaksiatan. Jangan harap dapat uang dari hasil gitar itu. Pergi !!! “ kata Anto menahan air mata begitupun ibunya

“ Allaah...diam lo !! gua gampar mulut cerewet lo, baru tahu rasa “ bentak kakaknya sambil mengambil paksa uang hasil mengamennya dan pergi meninggalkan rumah

            Saat Anto larut dalam kesedihan bersama ibunya, Sari menghampiri mereka sambil setengah berlari dan membawa gitar milik Anto.

“ Kalian baik-baik saja ?? “ tanya Sari

“ Tak ada yang kurang dan hilang dari kami. Hanya uang untuk kami makan, lenyap dibawa oleh abang “ jawab Anto sedih

“ Sudahlah...jangan khawatir !! berkunjunglah ke rumahku bersama ibumu “ ujar Sari dengan senyum tulusnya

“ Iya Sar. Terima kasih atas kebaikanmu selama ini kepadaku dan ibu “ jawab Anto mencoba membalas dengan senyum

“ Ini....gitar kamu. Kalau kamu tinggal di jalanan...terus kamu mau ngamen pakai apa ?? jaga ini baik-baik !!! “ kata Sari

“ Sekali lagi terima kasih. Gitar ini akan ku jaga baik-baik. Karena gitar ini adalah perantara Tuhan untuk menghidupi kami berdua “ jawab Anto dengan semangat

            Dengan kembalinya gitar penghidupan itu di tangannya, ia berharap kembali pula kebahagiaan bersama ibu yang ia kasihi. Kebahagiaan yang hilang setelah ayahnya meninggal. Kebahagiaan yang pernah ia cicipi. Kebahagiaan yang pernah menjadi sepenggal kisah hidupnya selama ini. Kini, ia berharap datangnya kebahagiaan itu lagi.



---SELESAI---




Contoh Teks Deskripsi


Pondokku Taman Surgaku

oleh : Binti Solikhah



Yayasan Al-Murofaqoh Al- Muafaqoh merupakan cikal bakal berdirinya PPTQ As-salafi. Pondok yang diresmikan pada tahun  2010 ini, berada di Blitar bagian barat tepatnya kecamatan Wonodadi. Pondok ini diasuh oleh KH. Abdul Kholiq Asnawi yang juga ketua KBIH Al-Khur Blitar. Saat ini santrinya mencapai hampir 100 orang.

PPTQ As-salafi merupakan salah satu pondok di Blitar yang sangat nyaman. Dari struktur bangunannya, pondok ini termasuk pondok yang modern. Sepanjang mata melihat, maka akan nampak warna hijau muda dan hijau tua yang mewarnai tembok bangunan tersebut. Dilengkapi dengan tiang bangunan yang cukup besar dan ukirannya yang indah, menambah keeolokkan gedung-gedungnya. Begitupun lantai yang dipasang keramik hijau tua. Tentu warna-warna yang serasi itu menambah sedap bila dipandang mata. Pondok ini jauh dari pandangan kebayakan orang yang menganggap pondok adalah kumuh.

Fasilitasnya juga tidak bisa dipandang sebelah mata. Kamar yang luas dan dilengkapi dengan almari besar, bantal, kasur, etalase tampat Al-Qur’an, dan gantungan pakain yang memadai. Satu hal yang membuat kamar-kamar PPTQ As-salafi berbeda dari pondok lain yaitu tercukupinya kebutuhan oksigen di kamar-kamar. Hal ini karena tersedianya jendela yang besar. Kamar mandi juga sangat mencukupi. Kebersihan dan kenyamanan juga sangat diperhatikan. Pondok ini juga dilengkapi KOPESTREN (koperasi pondok pesantren), POKESTREN (pos kesehatan pesantren) dan WIFI. Tempat mecuci baju yang besih di lantai tiga, juga tempat menjemur pakaian yang memadai.

PPTQ As-salafi juga memperhatikan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan. Progam-progamnya sangat mendidik, menjadikan semua santri nantinya benar-benar siap terjun kemasyarakat. Mulai dari kegiatan sorokan mengaji Al-Qur’an, mengaji kitab kuning, hafalan Al-Qur’an, kegiatan ekstra qiro’ah dan sholawat. Bukan hanya itu, PPTQ As-salafi juga mempunyai kegiatan rutin jum’at yang berisi muhadloroh dan diba’.

Satu hal yang benar-benar beda dari pondok lain yang patut diacungi jempol. Semua fasilitas dan sarana prasarana itu didapatkan dengan gratis. Bahkan per bulan diberi uang saku, dan biaya sekolah umum ditanggung pondok. Semua itu akan didapat dengan syarat, mereka (santri) adalah orang-orang yang mempunyai komitmen dan tekad untuk menuntut ilmu, tekun dan ulet, bersedia untuk dididik, dan menaati peraturan yang ada.