ANALISIS CERPEN
DARI MASA KE MASA
UAS
Untuk memenuhi tugas ujian akhir mata kuliah
Apresiasi Prosa
Diampu oleh Dian Etika Sari, M.Pd.
Oleh:
Binti Sholikhah (17210153018)
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI TULUNGAGUNG
FAKULTAS TARBIYAH
DAN ILMU KEGURUAN
JURUSAN TADRIS
BAHASA INDONESIA
Desember, 2016
1.1 Cerpen Dari Masa Ke Masa
Waktu saya
muda dulu, sekitar usia dua puluh tahun, saya sering dongkol pada orang
tua-tua. Bayangkanlah, setiap apa pun yang akan kami lakukan selalu kena tuntut
agar minta nasihat dulu, minta restu dulu ada orang tua-tua. Memang tidak ada
paksaan. Tapi selalu saja ada pesan-pesan agar sebelum kami mulai melaksanakan
kegiatan kami, sebaiknya kami berbicara dengan Bapak Anu, Bapak Polan, Bapak
Tahu, atau pada bapak sekalian bapak.
Saya memang selalu tukang dongkol, karena kepada kami-kami saja pesan itu disampaikan. Tapi tidak pernah disampaikan pada teman-teman kami yang memanggul senjata, yang mau ke front pertempuran. Padahal pekerjaan itulah yang paling berat risikonya.
"Siapa tahu kalau yang kalian kerjakan keliru," kata yang selalu suka memberi saran.
"Itu risiko kami," kata saya menimpali.
"Saya tahu. Tapi kan lebih baik kalau risikonya tidak ada," katanya pula.
"Tapi kenapa teman-temannya yang mau pergi perang itu tidak disuruh minta nasihat dulu?" tanya saya karena masih dongkol.
"Proklamasi telah lebih dulu merestui mereka. Malah menganjurkannya," kilah orang yang selalu suka memberi saran itu.
Biasanya kami jadi bimbang. Lalu terpaksa jugalah kami boyong ke rumah semua orang-orang tua yang patut-patut itu.
Anak-anak muda waktu saya muda dulu punya kegiatan yang macam-macam jika tidak ikut memanggul senjata. Misalnya bikin sandiwara, ikut diskusi, mengadakan kursus, pameran. Bahkan juga pasar malam. Untuk setiap jenis kegiatan itu selalu saja ada orang tua-tua yang dikatakan ekspert untuk memberi nasihat dan restu sesuai dengan keahlian dan pengalamannya. Macam-macam cara masing-masing mereka menyambut kedatangan kami. Ada yang hangat sambutannya. Misalnya dengan salaman pakai guncangan tangan atau tepuk-tepuk di bahu kami. Ada yang lagi asyik menulis terus setelah tahu kami datang. Juga ada yang baru muncul setelah sejam kami menunggunya di ruang tamu.
Pada umumnya oleh orang tua-tua itu kami diberi wejangan yang tak pernah pendek-pendek, selalu panjang berjela-jela sampai pantat kami gelisah, bukan karena penat saja, tapi juga karena digigit kepinding, sejenis kutu busuk yang dikatakan bangsat oleh orang Jakarta. Bukan main dongkolnya kami. Lebih-lebih saya yang memang pendongkol nomor satu di antara teman-teman. Betapa tidak. Sudah menunggu begitu lama, lalu diberi wejangan panjang-panjang yang sering tidak ada sangkut-pautnya dengan umsan kami, lalu digigit kepinding pula. Sungguh jahanam bangsat itu.
Kata saya dalam hati, kalau teman-teman kami yang prajurit itu harus menerima wejangan sepanjang itu bila hendak pergi ke front, pastilah serdadu musuh sudah menanti di balik pintu.
Lama-lama, setelah berpengalaman cukup banyak, saya bisa menarik kesimpulan tentang sikap orang-orang tua itu. Kalau orangnya orang partai, sambutannya selalu hangat pada kami orang muda. Kalau orangnya orang pandai, yang pada umumnya bekas guru, kedatangan kami selalu disambut di kala mereka sedang sibuk. Entah sedang menulis, entah sedang membaca, dan tidak jarang pula sedang memangkas tanaman bunga di halaman rumahnya. Tapi kalau ia pejabat, apa ia orang partai atau orang pandai, mereka selalu suka membiarkan kami menunggu berlama-lama di ruang tamu. Hal yang sama dilakukannya bila datang ke kantor atau rumahnya.
Betapa tidak enaknya diperlakukan demikian, namun prosedur memuliakan orang tua-tua itu tak dapat dihindarkan, kalau kami mau aman dalam kegiatan kami.
Bertahun-tahun kemudian saya menarik kesimpulan, bahwa orang tua-tua itu bersikap demikian kepada kami orang muda-muda dulu itu, karena mereka tengah memelihara posisinya yang tinggal sekomeng lagi, karena kekuasaan revolusi tidak berada di tangan mereka. Lebih susah lagi, kalau kami berhasil dengan gemilang dalam melaksanakan kegiatan kami. Kami akan selalu direpotkan orang tua-tua itu. Malah tambah sering kami sukses, tambah repotlah kami. Mereka pada mendesak kami agar memintanya menjadi penasihat kamilah, pelindung kamilah. Bahkan ada di antara mereka yang bergembar-gembor ke mana-mana, bahwa kami adalah anak-asuhannyalah, kadernyalah. Claim mereka itu bukan menyenangkan, malahan sangat menyulitkan kami. Sebab pada waktu saya muda dulu, partai-partai sangat banyak. Dan mereka semua saling sengit dalam berjor-joran. Kalau satu orang telah kami minta jadi penasihat kami, atau biarkan mereka "meng-claim" kami, maka orang lain yang berlainan partai akan membilang kami sebagai "mantel" partai anu, sehingga orang partai lain bisa sakit hati. Tak jarang terjadi kami terkena intrik dari pihak yang tidak suka. Hal-hal yang memang membingungkan, menyusahkan, bahkan juga menimbulkan kecewa dan mematahkan semangat. Dan saya jadi tambah dongkol lagi.
Waktu saya muda dulu, suatu sukses bukanlah hal yang menyenangkan. Kalaupun ada kesenangan, saatnya sangatlah pendek sekali. Yaitu hanya ketika sukses itu terjadi. Habis itu, kesukaranlah yang datang bertalu. Kesukaran yang menyakitkan. Karena setiap sukses yang kami peroleh selalu mengundang perpecahan di kalangan kami sendiri. Mulanya saya tidak tahu, kenapa setiap sukses selalu membawa bencana. Tapi lama-lama saya mengerti juga. Dan itu mencengangkan saya benar. Menurut analisanya ialah begini. Setiap anak muda yang berhasil atau suatu organisasi yang sukses, selalu ada tangan orang-orang tua itu ingin mencaplok untuk memasukkan kami ke dalam mantelnya. Kalau organisasi kami tidak bisa mereka caplok secara utuh, maka anggota kamilah yang mereka preteli seorang demi seorang. Terutama anggota yang potensial, kalau tidak anggota pengurus. Ada banyak yang berhasil dicaplok atau dimanteli.
Setelah sukses demi sukses tercapai, organisasi yang waktu didirikan berdasar semangat kesatuan hati untuk mencapai cita-cita bersama, lalu menjadikan organisasi itu sebagai wadah tempat kami saling cakar-cakaran. Setiap rapat selalu menghasilkan kesepakatan untuk tidak sepakat lagi. Setiap pengurus, lebih-lebih ketua, selalu menjadi bulan-bulanan serangan anggota. Kesatuan hati semula, akhirnya membentuk hati yang satu-satu. Ada yang ngambek, lalu mundur tanpa teratur. Organisasi yang mulanya menimbulkan kebanggaan di dalam hati kami masing-masing, lalu berubah menjadi tempat melampiaskan segala kutukan. Beberapa orang yang gigih mencoba untuk bertahan, tapi praktisnya organisasi kami tidak berdarah lagi. Kegiatan lama-lama sirna. Yang tinggal hanya nama yang tertera pada papan yang tergantung dan terbuai-buai bila ditiup angin.
Saya termasuk orang yang menangisi keadaan itu. Dan, dalam hati saya, bila saya telah menjadi orang tua kelak, apa yang tidak saya sukai ketika saya muda, takkan saya lakukan seperti apa yang dilakukan orang tua-tua ketika saya masih muda dulu. Begitu menyentak datangnya, ketika orang-orang muda secara bergelombang menemui saya minta restu, minta nasihat, minta pendapat, dan juga minta bantuan uang dan tanda tangan. Saya menoleh ke sekeliling, terutama pada teman sebaya saya, yang dulu sama giatnya dengan saya. Saya boleh mengembangkan dada menjadi orang yang dikagumi, dihormati. Memang menyenangkan bila punya status demikian. Tapi lebih menyenangkan lagi apabila menjadi tempat hidup orang menggantung, menjadi setiap kata yang dikatakan menjadi hukum yang tak boleh disanggah. Namun lebih nikmat rasanya apabila secara diam-diam saya mendengar orang-orang muda itu berkata pada teman-temannya, "Sudah bicara pada Pak Navis? Belum? Jangan bikin apa-apa dulu sebelum bicara padanya?"
Akan tetapi orang-orang muda sekarang berbeda jauh dari orang-orang muda masa dulu. Pendidikan orang muda sekarang lebih tinggi, ayah-ayah mereka lebih kaya bahkan lebih berkuasa. Karenanya fasilitas mereka lebih punya. Omongan mereka lebih ceplas-ceplos. Bagaimana saya harus menghadapi mereka agar saya kelihatan tetap potensial? Lalu saya teringat pada orang tua-tua masa saya muda dulu. Gaya ramah-tamah Pak Tamin yang orang partai itu, sekarang tak laku lagi karena partai pun tidak laku. Gaya orang pandai seperti Guru Munap juga tak mungkin lagi, sebab sekarang sudah banyak sekali orang yang lebih pandai dari segala orang pandai-pandai dulu. Jika memakai gaya pejabat, tapi saya bukan pejabat dan karenanya saya tidak mungkin menggunakan peran sebagai orang yang berwibawa tinggi.
Saya juga mempertimbangkan betapa bedanya kondisi sekarang dengan masa dulu. Orang-orang muda yang giat menjadi rebutan masa dulu. Mereka didukung dengan perhatian yang penuh, didengar apa yang diingininya. Bahkan didorong semangatnya agar bisa berbuat banyak. Bahkan kalau perlu disuruh melabrak orang tuanya sendiri. Sedangkan kondisi sekarang sudah lain. Tidak ada pihakpihak yang berkepentingan untuk mempengaruhi orang-orang muda sekarang. Kalaupun masih ada, permainan tidak lagi seimbang. Orang-orang muda sekarang lebih mudah digembalakan. Sebab tidak ada lagi pihak-pihak yang secara gampang memuja-mujanya. Bagi orang-orang muda sekarang, yang dipuji bukan lagi semangat dan keberaniannya, melainkan prestasi otak dan keahliannya. Dan itu tidak mudah diperolehnya karena bersifat sangat individual. Karena itulah barangkali umur orang-orang muda sekarang lebih panjang, sampai berusia empat puluh tahun.
Ketika saya ketemu dengan sobat masa muda yang baru kembali dari posnya sebagai diplomat di luar negri, kami membanding-bandingkan apa yang telah kami lakukan dalam usia yang sama dengan orang-orang muda sekarang. Pada waktu orang-orang muda sekarang masih sekolah, orang-orang muda dulu telah jadi komandan batalyon. Anak-anak sekolah SMA dulu, telah bisa menjadi guru bahkan direktur SMA swasta. Sedangkan anak-anak SMA sekarang, tidak bisa berbuat apa-apa. Dari sudut ini, Indonesia ternyata tidak maju.
"Mungkin karena dinamika orang-orang muda masa dulu yang menyebabkan saya dongkol melihat tingkah laku orang tua-tua yang sok-sokan. Sehingga saya berjanji dalam hati saya, jika saya telah tua, apa yang tidak saya sukai tentang tingkah laku orang tua-tua terhadap orang-orang muda, tidak akan saya lakukan," kata saya pada sobat itu setelah lama kami merenung-renung.
"Apa janji itu Bung lakukan?" tanya sobat saya yang bekas diplomat itu.
"Ya. Saya lakukan."
"Kenapa?"
"Karena saya percaya, apa pun yang dapat kita lakukan di waktu muda dulu, pastilah dapat dilakukan oleh orang-orang muda sekarang."
"Tapi nyatanya orang-orang muda sekarang begitu sulit melepaskan dirinya dari sifat kekanak-kanakannya."
"Kata kita. Tapi apa kata orang tua-tua kita dulu tentang kita?" tanya saya membalikkan alasannya.
"Coba Bung renungkan. Apabila orang-orang muda sekirang diberi peran yang sama seperti apa yang kita lakukan dulu, akan apa jadinya Republik ini?" .tanya sobat saya itu seraya membelalakkan matanya.
Saya memang selalu tukang dongkol, karena kepada kami-kami saja pesan itu disampaikan. Tapi tidak pernah disampaikan pada teman-teman kami yang memanggul senjata, yang mau ke front pertempuran. Padahal pekerjaan itulah yang paling berat risikonya.
"Siapa tahu kalau yang kalian kerjakan keliru," kata yang selalu suka memberi saran.
"Itu risiko kami," kata saya menimpali.
"Saya tahu. Tapi kan lebih baik kalau risikonya tidak ada," katanya pula.
"Tapi kenapa teman-temannya yang mau pergi perang itu tidak disuruh minta nasihat dulu?" tanya saya karena masih dongkol.
"Proklamasi telah lebih dulu merestui mereka. Malah menganjurkannya," kilah orang yang selalu suka memberi saran itu.
Biasanya kami jadi bimbang. Lalu terpaksa jugalah kami boyong ke rumah semua orang-orang tua yang patut-patut itu.
Anak-anak muda waktu saya muda dulu punya kegiatan yang macam-macam jika tidak ikut memanggul senjata. Misalnya bikin sandiwara, ikut diskusi, mengadakan kursus, pameran. Bahkan juga pasar malam. Untuk setiap jenis kegiatan itu selalu saja ada orang tua-tua yang dikatakan ekspert untuk memberi nasihat dan restu sesuai dengan keahlian dan pengalamannya. Macam-macam cara masing-masing mereka menyambut kedatangan kami. Ada yang hangat sambutannya. Misalnya dengan salaman pakai guncangan tangan atau tepuk-tepuk di bahu kami. Ada yang lagi asyik menulis terus setelah tahu kami datang. Juga ada yang baru muncul setelah sejam kami menunggunya di ruang tamu.
Pada umumnya oleh orang tua-tua itu kami diberi wejangan yang tak pernah pendek-pendek, selalu panjang berjela-jela sampai pantat kami gelisah, bukan karena penat saja, tapi juga karena digigit kepinding, sejenis kutu busuk yang dikatakan bangsat oleh orang Jakarta. Bukan main dongkolnya kami. Lebih-lebih saya yang memang pendongkol nomor satu di antara teman-teman. Betapa tidak. Sudah menunggu begitu lama, lalu diberi wejangan panjang-panjang yang sering tidak ada sangkut-pautnya dengan umsan kami, lalu digigit kepinding pula. Sungguh jahanam bangsat itu.
Kata saya dalam hati, kalau teman-teman kami yang prajurit itu harus menerima wejangan sepanjang itu bila hendak pergi ke front, pastilah serdadu musuh sudah menanti di balik pintu.
Lama-lama, setelah berpengalaman cukup banyak, saya bisa menarik kesimpulan tentang sikap orang-orang tua itu. Kalau orangnya orang partai, sambutannya selalu hangat pada kami orang muda. Kalau orangnya orang pandai, yang pada umumnya bekas guru, kedatangan kami selalu disambut di kala mereka sedang sibuk. Entah sedang menulis, entah sedang membaca, dan tidak jarang pula sedang memangkas tanaman bunga di halaman rumahnya. Tapi kalau ia pejabat, apa ia orang partai atau orang pandai, mereka selalu suka membiarkan kami menunggu berlama-lama di ruang tamu. Hal yang sama dilakukannya bila datang ke kantor atau rumahnya.
Betapa tidak enaknya diperlakukan demikian, namun prosedur memuliakan orang tua-tua itu tak dapat dihindarkan, kalau kami mau aman dalam kegiatan kami.
Bertahun-tahun kemudian saya menarik kesimpulan, bahwa orang tua-tua itu bersikap demikian kepada kami orang muda-muda dulu itu, karena mereka tengah memelihara posisinya yang tinggal sekomeng lagi, karena kekuasaan revolusi tidak berada di tangan mereka. Lebih susah lagi, kalau kami berhasil dengan gemilang dalam melaksanakan kegiatan kami. Kami akan selalu direpotkan orang tua-tua itu. Malah tambah sering kami sukses, tambah repotlah kami. Mereka pada mendesak kami agar memintanya menjadi penasihat kamilah, pelindung kamilah. Bahkan ada di antara mereka yang bergembar-gembor ke mana-mana, bahwa kami adalah anak-asuhannyalah, kadernyalah. Claim mereka itu bukan menyenangkan, malahan sangat menyulitkan kami. Sebab pada waktu saya muda dulu, partai-partai sangat banyak. Dan mereka semua saling sengit dalam berjor-joran. Kalau satu orang telah kami minta jadi penasihat kami, atau biarkan mereka "meng-claim" kami, maka orang lain yang berlainan partai akan membilang kami sebagai "mantel" partai anu, sehingga orang partai lain bisa sakit hati. Tak jarang terjadi kami terkena intrik dari pihak yang tidak suka. Hal-hal yang memang membingungkan, menyusahkan, bahkan juga menimbulkan kecewa dan mematahkan semangat. Dan saya jadi tambah dongkol lagi.
Waktu saya muda dulu, suatu sukses bukanlah hal yang menyenangkan. Kalaupun ada kesenangan, saatnya sangatlah pendek sekali. Yaitu hanya ketika sukses itu terjadi. Habis itu, kesukaranlah yang datang bertalu. Kesukaran yang menyakitkan. Karena setiap sukses yang kami peroleh selalu mengundang perpecahan di kalangan kami sendiri. Mulanya saya tidak tahu, kenapa setiap sukses selalu membawa bencana. Tapi lama-lama saya mengerti juga. Dan itu mencengangkan saya benar. Menurut analisanya ialah begini. Setiap anak muda yang berhasil atau suatu organisasi yang sukses, selalu ada tangan orang-orang tua itu ingin mencaplok untuk memasukkan kami ke dalam mantelnya. Kalau organisasi kami tidak bisa mereka caplok secara utuh, maka anggota kamilah yang mereka preteli seorang demi seorang. Terutama anggota yang potensial, kalau tidak anggota pengurus. Ada banyak yang berhasil dicaplok atau dimanteli.
Setelah sukses demi sukses tercapai, organisasi yang waktu didirikan berdasar semangat kesatuan hati untuk mencapai cita-cita bersama, lalu menjadikan organisasi itu sebagai wadah tempat kami saling cakar-cakaran. Setiap rapat selalu menghasilkan kesepakatan untuk tidak sepakat lagi. Setiap pengurus, lebih-lebih ketua, selalu menjadi bulan-bulanan serangan anggota. Kesatuan hati semula, akhirnya membentuk hati yang satu-satu. Ada yang ngambek, lalu mundur tanpa teratur. Organisasi yang mulanya menimbulkan kebanggaan di dalam hati kami masing-masing, lalu berubah menjadi tempat melampiaskan segala kutukan. Beberapa orang yang gigih mencoba untuk bertahan, tapi praktisnya organisasi kami tidak berdarah lagi. Kegiatan lama-lama sirna. Yang tinggal hanya nama yang tertera pada papan yang tergantung dan terbuai-buai bila ditiup angin.
Saya termasuk orang yang menangisi keadaan itu. Dan, dalam hati saya, bila saya telah menjadi orang tua kelak, apa yang tidak saya sukai ketika saya muda, takkan saya lakukan seperti apa yang dilakukan orang tua-tua ketika saya masih muda dulu. Begitu menyentak datangnya, ketika orang-orang muda secara bergelombang menemui saya minta restu, minta nasihat, minta pendapat, dan juga minta bantuan uang dan tanda tangan. Saya menoleh ke sekeliling, terutama pada teman sebaya saya, yang dulu sama giatnya dengan saya. Saya boleh mengembangkan dada menjadi orang yang dikagumi, dihormati. Memang menyenangkan bila punya status demikian. Tapi lebih menyenangkan lagi apabila menjadi tempat hidup orang menggantung, menjadi setiap kata yang dikatakan menjadi hukum yang tak boleh disanggah. Namun lebih nikmat rasanya apabila secara diam-diam saya mendengar orang-orang muda itu berkata pada teman-temannya, "Sudah bicara pada Pak Navis? Belum? Jangan bikin apa-apa dulu sebelum bicara padanya?"
Akan tetapi orang-orang muda sekarang berbeda jauh dari orang-orang muda masa dulu. Pendidikan orang muda sekarang lebih tinggi, ayah-ayah mereka lebih kaya bahkan lebih berkuasa. Karenanya fasilitas mereka lebih punya. Omongan mereka lebih ceplas-ceplos. Bagaimana saya harus menghadapi mereka agar saya kelihatan tetap potensial? Lalu saya teringat pada orang tua-tua masa saya muda dulu. Gaya ramah-tamah Pak Tamin yang orang partai itu, sekarang tak laku lagi karena partai pun tidak laku. Gaya orang pandai seperti Guru Munap juga tak mungkin lagi, sebab sekarang sudah banyak sekali orang yang lebih pandai dari segala orang pandai-pandai dulu. Jika memakai gaya pejabat, tapi saya bukan pejabat dan karenanya saya tidak mungkin menggunakan peran sebagai orang yang berwibawa tinggi.
Saya juga mempertimbangkan betapa bedanya kondisi sekarang dengan masa dulu. Orang-orang muda yang giat menjadi rebutan masa dulu. Mereka didukung dengan perhatian yang penuh, didengar apa yang diingininya. Bahkan didorong semangatnya agar bisa berbuat banyak. Bahkan kalau perlu disuruh melabrak orang tuanya sendiri. Sedangkan kondisi sekarang sudah lain. Tidak ada pihakpihak yang berkepentingan untuk mempengaruhi orang-orang muda sekarang. Kalaupun masih ada, permainan tidak lagi seimbang. Orang-orang muda sekarang lebih mudah digembalakan. Sebab tidak ada lagi pihak-pihak yang secara gampang memuja-mujanya. Bagi orang-orang muda sekarang, yang dipuji bukan lagi semangat dan keberaniannya, melainkan prestasi otak dan keahliannya. Dan itu tidak mudah diperolehnya karena bersifat sangat individual. Karena itulah barangkali umur orang-orang muda sekarang lebih panjang, sampai berusia empat puluh tahun.
Ketika saya ketemu dengan sobat masa muda yang baru kembali dari posnya sebagai diplomat di luar negri, kami membanding-bandingkan apa yang telah kami lakukan dalam usia yang sama dengan orang-orang muda sekarang. Pada waktu orang-orang muda sekarang masih sekolah, orang-orang muda dulu telah jadi komandan batalyon. Anak-anak sekolah SMA dulu, telah bisa menjadi guru bahkan direktur SMA swasta. Sedangkan anak-anak SMA sekarang, tidak bisa berbuat apa-apa. Dari sudut ini, Indonesia ternyata tidak maju.
"Mungkin karena dinamika orang-orang muda masa dulu yang menyebabkan saya dongkol melihat tingkah laku orang tua-tua yang sok-sokan. Sehingga saya berjanji dalam hati saya, jika saya telah tua, apa yang tidak saya sukai tentang tingkah laku orang tua-tua terhadap orang-orang muda, tidak akan saya lakukan," kata saya pada sobat itu setelah lama kami merenung-renung.
"Apa janji itu Bung lakukan?" tanya sobat saya yang bekas diplomat itu.
"Ya. Saya lakukan."
"Kenapa?"
"Karena saya percaya, apa pun yang dapat kita lakukan di waktu muda dulu, pastilah dapat dilakukan oleh orang-orang muda sekarang."
"Tapi nyatanya orang-orang muda sekarang begitu sulit melepaskan dirinya dari sifat kekanak-kanakannya."
"Kata kita. Tapi apa kata orang tua-tua kita dulu tentang kita?" tanya saya membalikkan alasannya.
"Coba Bung renungkan. Apabila orang-orang muda sekirang diberi peran yang sama seperti apa yang kita lakukan dulu, akan apa jadinya Republik ini?" .tanya sobat saya itu seraya membelalakkan matanya.
Tiba-tiba ketawa saya meledak, sehingga air mata saya pun berderai-derai. Lalu matanya yang membelalak jadi menyipit sebelum bertanya kenapa saya ketawa.
"Kinilah saya baru tahu, kerjaan kita yang terutama sekarang ialah membenahi akibat kerja kita masa lalu," kata saya yang masih belum dapat menghentikan ketawa.
Dan sobat saya itu memang diplomat, karena ia tersenyum saja oleh kata-kata saya itu. Seperti senyum anak-anak saya bila melihat bintang favoritnya tampil dalam acara "Dari Masa ke Masa" di televise.[1]
1.2 Pendekatan
Mimetik
Pandangan
pendekatan mimetik ini adalah adanya anggapan bahwa sastra merupakan tiruan
alam atau penggambaran dunia dan kehidupan manusia di semesta raya ini. Sasaran
yang dieliti adalah sejauh mana sastra merepresentasikan dunia nyata atau
sernesta dan kemungkinan adanya intelektualitas dengan karya lain. Hubungan
antara kenyataan dan rekaan dalam sastra adalah hubungan dialektis atau
bertangga. Mimesis tidak mungkin tanpa kreasi, tetapi kreasi tidak mungkin
tanpa mimesis.
Takaran
dan perkaitan antara keduanya dapat berbeda menurut kebudayaannya, Menurut
jenis sastra. Zaman kepribadian pengarang, tetapi yang satu tanpa yang lain
tidak mungkin dan, catatan terakhir perpaduan antara kreasi dan mimesis tidak
hanya berlaku dan Benar Untuk Penulis Sastra. Tak Kurang Pentingnya Untuk
Pembaca, Dia Pun Harus Sadar bahwa menyambut karya sastra mengharuskan dia
untuk memadukan aktivitas mimetik dengan kreatif mereka. Pemberian makna pada
karya sastra berarti perjalanan bolak-balik yang tak berakhir antara dua
kenyataan dan dunia khayalan. Karya sastra yang dilepaskan dan kenyataan
kehilangan sesuatu yang hakiki, yaitu pelibatan pembaca dalam eksistensi selaku
manusia. Pembaca sastra yang kehilangan daya imajinasi meniadakan sesuatu yang
tak kurang esensial bagi manusia, yaitu alternatif terhadap eksistensi yang ada
dengan segala keserbakekurangannya atau lebih sederhana berkat seni, sastra
khususnya, manusia dapat hidup dalam perpaduan antara kenyataan dan impian,
yang kedua-duanya hakiki untuk kita sebagai manusia.[2]
Analisis
teori mimetik pada cerpen Dari Masa Ke Masa
Karya A.A Navis disusun
berdasarkan sistematika pembahasan, yaitu: 1) identifikasi aspek sosial dalam
cerpen Dari Masa Ke Masa karya A.A
Navis, 2) analisis aspek sosial dalam cerpen Dari Masa Ke Masa karya A.A Navis. Dalam cerpen Dari Masa Ke Masa karya A.A Navis ini dapat ditemukan beberapa
masalah-masalah sosial. Adapun masalah-masalah sosial tersebut antara lain: 1) Patuh
kepada tradisi, 2) Status sosial penentu perilaku, 3) Usaha mempertahankan
posisi di masyarakat, 4) Perbedaan pandangan hidup setiap masa, dan 5)
Kemunduran kaum muda.[3]
1.3 Analisis Cerpen Dari Masa Ke Masa dengan pendekatan
Mimetik
1.3.1 Patuh kepada tradisi
Tradisi adalah
segala sesuatu yang menjadi kebiasaan dari suatu kelompok manusia. Tradisi yang
telah dipercayai oleh generasi sebelumnya mau tak mau harus dilaksanakan oleh
generasi penerus. Apalagi jika tradisi itu sudah menyangkut tentang
penghormatan kepada sesepuh atau orang yang dianggap bisa memberikan
petuah-petuah, maka hal demikian menjadi hal sakral dan wajib dilaksanakan bagi
siapa saja. Hal ini terlihat dari kutipan berikut.
Waktu
saya muda dulu, sekitar usia dua puluh tahun, saya sering dongkol pada orag
tua-tua. Bayangkanlah, setiap apa pun yang kami lakukan selalu kena tuntut agar
kami minta nasihat dulu, minta restu dulu pada orang tua-tua. Memang tidak ada
paksaan. Tapi selalu saja ada pesan-pesan agar sebelum kami mulai melaksanakn
kegiatan kami, sebaiknya kami berbicara dengan Bapak Anu, Bapak Polan, Bapak
Tahu, atau bapak sekalian bapak. [4]
Kutipan
di atas menceritakan tokoh “saya” yang merasa kesal karena harus selalu meminta
nasihat kepada orang-orang tua yang dianggap mempunyai peran di masyarakat
setiap kali akan mengadakan kegiatan. Orang-orang tua yang selalu memberikan
saran padanya selalu mengingatkan agar meminta nasihat kepada pada orang-orang
terhormat itu agar dalam mengadakan kegiatan tidak mengalami masalah. Mereka
percaya, bahwa dengan meminta nasihat dan restu maka kegiatan yang dilaksanakan
akan berjalan lancar. Maka dari itu, tradisi tersebut selalu mereka ingatkan
kepada kaum muda pada masa itu.
1.3.2
Status
sosial penentu perilaku
Status
sosial dalam masyarakat selalu berpengaruh terhadap bagaimana seseorang
berperilaku dan bersikap. Hal ini merupakan cermin strata seseorang pada
lingkungan masyaraktnya. Seseorang yang memiliki strata atau status sosial yang
tinggi, biasanya akan bersikap dan berperilaku sesuai dengan tingkatannya,
yaitu bersikap jual mahal dan sikap lain yang mencerminkan pangkatnya. Namun
sebaliknya, seseorang yang memiliki status sosial yang rendah, maka secara
otomatis akan menuruti orang yang berstatus tinggi. Perbedaan sikap dan
perilaku ini sudah menjadi budaya di kalangan masyarakat. Dari zaman terdahulu
sebelum kemerdekaan bahkan paska kemerdekaan hal demikian masih berlaku. Hal ini
terlihat dari kutipan berikut.
Lama-lama,
setelah berpengalaman cukup banyak, saya bisa menarik kesimpulan tentang sikap
orang-orang tua itu. Kalau orangnya orang partai, sambutannya selalu hangat
pada kami orang muda. Kalau orangnya orang pandai, yang pada umumnya bekas
guru, kedatangan kami selalu disambut di kala mereka sedang sibuk. Entah sedang
menulis, entah sedang membaca, dan tidak jarang pula sedang memangkas tanaman
bunga di halaman rumahnya. Tapi kalau ia pejabat, apa ia orang partai atau orang
pandai, mereka selalu suka membiarkan kami menunggu berlama-lama di ruang tamu.
Hal yang sama dilakukannya bila datang ke kantor atau rumahnya.[5]
Kutipan
di atas menceritakan tokoh ‘saya’ yang selalu mengamati tingkah laku
orang-orang tua yang ia datangi sebelum melakukan segala kegiatan. Dari
pengamatannya, akhirnya tokoh ‘saya’ dapat mengambil kesimpulan dari sekian
banyak pengalamnnya tersebut, bahwa status sosial orang-orang tua yang ia
datangi sangat berpengaruh terhadap cara mereka menyambutnya. Seseorang yang
berlatar belakang seseorang politik atau partai, maka mereka akan cenderung
bersikap hangat dalam penyambutan orang-orang muda yang datang. Hal itu sama
seperti mereka menyambut hangat orang-orang yang mendukunngannya saat musim
partai. Jika orang tua yang didatangi adalah seorang yang berpendidikan atau
seorang guru, maka orang-orang muda akan menemuinya dengan segala kesibukaan.
Karena sudah menjadi ciri khas, bahwa seseorang yang memiliki pendidikan tinggi
akan menggunakan waktu dengan hal-hal yang bermanfaat dan tidak akan membuang
waktu begitu saja dengan hal yang merugikan. Maka mereka selalu sibuk saat
ditemui oleh orang-orang muda yang membutuhkannya. Lain lagi saat yang ditemui
adalah seorang pejabat, mereka akan membiarkan orang-orang muda menunggu dengan
lama. Hal itu sama persis, seperti yang dilakukan para pejabat yang merasa
dibutuhkan oleh bawahan atau rakyatnya.
1.3.3
Usaha
mempertahankan posisi di masyarakat
Seseorang
yang telah memiliki posisi, terutama di tengah masyarakat akan enggan
melepasnya saat posisi itu telah tidak cocok lagi untuknya. Mereka akan
melakukan segala cara agar posisi mereka tidak lengser dan digantikan orang
lain. Akan ada banyak cara yang dilakukan. Mereka akan membuat orang-orang
disekelilingnya merasa bahwa dia sangat dibutuhkan dan harus mempertahankan.
Salah satunya adalah membuat generasi-generasi muda tunduk dan patuh pada
mereka. Sehingga generasi muda tidak akan mampu berbuat apa-apa tanpa mereka.
Hal ini terlihat dari kutipan berikut.
Bertahun-tahun
kemudian saya menarik kesimpulan, bahwa orang tua-tua itu bersikap demikian
kepada kami orang muda-muda dulu itu, karena mereka tengah memelihara posisinya
yang tinggal sekomeng lagi, karena kekuasaan revolusi tidak berada di tangan
mereka.[6]
Kutipan
di atas menceritakan bahwa tokoh ‘saya’ dari banyaknya pengalaman datang kepada
orang-orang tua, mulai memahami inti dari tradisi yang membuatnya sering
jengkel itu. Apa yang sebenarnya menjadi motivasi para orang tua untuk
memberikan petuah dan wejangan pada kaum muda. Ternyata hal demikian itulah
hanya untuk mempertahankan posisi mereka di tengah masyarakat. Mereka takut
kedudukannya di lingkungan masyarakat tidak lagi dibutuhkan. Dengan selalu
memberikan petuah kepada kaum muda, maka posisi orang-orang tua akan tetap jaya
dan disegani dalam lingkungan masyarakatnya. Jika kaum muda yang datang padanya
dan berhasil dalam melaksanakan kegiatan, maka orang-orang tua itu akan berebut
untuk menjadikan kaum-kaum muda itu sebagai anak buahnya. Namun jika mereka tidak
berhasil menarik organisasi muda itu secara keseluruhan, maka orang-orang tua
itu akan menghasut satu persatu dari anggota kaum muda dan terjadilah
kehancuran dalam organisasi itu. Semua itu agar keberadaan orang-orang tua
tetap jaya dan tidak akan surut.
1.3.4
Perbedaan
pandangan hidup setiap masa
Masa sangat menentukan bagaimana orang yang hidup
di dalamnya. Jika masa dahulu sebelum kemerdekaan kaum muda yang giat menjadi
rebutan. Mereka yang mempunyai semangat tinggi dan kebenranian akan didukung
penuh untuk selalu maju, selalu didengar tentang pendapat mereka, dan selalu
dihargai karya-karya mereka. Akan banyak orang tua yang memuji. Namun hal
demikian akan jauh berbeda dengan masa setelah kemerdekaan. Kaum muda tidak
lagi gila akan pujian, karena memang hal yang seperti itu tidak mudah
didapatkan dari para orang tua. Kaum muda akan cenderung bangga akan pujian
jika mereka mampu unggul dalam prestasi dan akademiknya. Hal ini terlihat dari
kutipan berikut.
Saya juga
mempertimbangkan betapa bedanya kondisi sekarang dengan masa dulu. Orang-orang
muda yang giat menjadi rebutan masa dulu. Mereka didukung dengan perhatian yang
penuh, didengar apa yang diingininya. Bahkan didorong semangatnya agar bisa
berbuat banyak. Bahkan kalau perlu disuruh melabrak orang tuanya sendiri.
Sedangkan
kondisi sekarang sudah lain. Tidak ada pihakpihak yang berkepentingan untuk
mempengaruhi orang-orang muda sekarang. Kalaupun masih ada, permainan tidak
lagi seimbang. Orang-orang muda sekarang lebih mudah digembalakan. Sebab tidak
ada lagi pihak-pihak yang secara gampang memuja-mujanya. Bagi orang-orang muda
sekarang, yang dipuji bukan lagi semangat dan keberaniannya, melainkan prestasi
otak dan keahliannya. [7]
Kutipan tersebut menceritakan sosok
‘saya’ yang telah menjadi orang tua. Dia merasakan betapa jauh perbedaan antara
masa mudanya dan masa mudanya anak sekarang. Jika zaman dahulu, ia akan dipuji
karena semangat dan keberaniaanya. Ia akan selalu mendapat petuah dari
orang-orang yang dituakan di wilayahnya. Kini hal demikian sudah tidak ia temui
di usia tuanya. Kaum muda masa sekarang jauh lebih gila pujian saat mereka bisa
unggul dalam prestasi otak dan keahliaanya. Orang tua pada masa sekarang pun
tidak lagi terlalu tidak akan ikut campur urusan kaum muda. Hal ini tentu
sangat berbeda dengan masa muda tokoh ‘saya’ yang harus selalu meminta nasihat
kepada orang-orang tua sebelum melakukan hal apapun. Tokoh ‘saya’ menyadari bahwa
pandangan hidup kaum muda masa sekarang berbeda dengan masa terdahulu, juga
keberadaan orang-orang tua kini tidak terlalu berpengaruh berbeda dengan masa
sebelum merdeka.
1.3.5
Kemunduran
kaum muda
Nasib bangsa sangat ditentukan oleh kaum
muda yang merupakan penerusnya. Kaum
muda akan menentukan bagaimana bangsa itu di masa depan. Jika kaum muda itu
adalah mereka yang mempunyai kemampuan dan kepribadian yang baik, maka bangsa
itu akan tumbuh menjadi baik pula. Sebaliknya, jika kaum mudanya adalah mereka
yang tidak mempunyai kepribadian yang baik dan justru bertabiat buruk, maka
sudah bisa dipastikan bangsa itu akan mengalami kemunduran oleh penerusnya
sendiri. Maka dari itu peran pemuda sangat penting sebagai kunci kesuksesan
bangsa. Jika kaum muda justru mengalami kemunduran, akan ada banyak
permasalahan yang timbul. Hal ini bisa dilihat dari kutipan berikut.
Ketika saya ketemu dengan sobat masa muda yang baru kembali
dari posnya sebagai diplomat di luar negri, kami membanding-bandingkan apa yang
telah kami lakukan dalam usia yang sama dengan orang-orang muda sekarang..Pada
waktu orang-orang muda sekarang masih sekolah, orang-orang muda dulu telah jadi
komandan batalyon. Anak-anak sekolah SMA dulu, telah bisa menjadi guru bahkan
direktur SMA swasta. Sedangkan anak-anak SMA sekarang, tidak bisa berbuat
apa-apa. Dari sudut ini, Indonesia ternyata tidak maju….[8]
Kutipan di atas menceritakan tokoh ‘saya’ yang sedang
berbincang-bincang dengan temannya saat muda dulu. Mereka bertemu saat mereka
tidak lagi menjadi kaum, melainkan telah menjadi orang tua. Mereka
membandingkan bagaimana kaum muda masa sekarang dan pada masanya sangat jauh
berbeda. Pada masa muda mereka, seseorang yang telah mencapai pendidikan SMA
bisa menjadi direktur SMA. Hal ini jauh berbeda dengan masa sekarang,
pendidikan SMA bahkan hanya bisa menjadi karyawan biasa dan sejenisnya saja.
Apalagi jika mereka tidak mempunyai keterampilan, maka mereka hanya akan
menjadi patung hidup. Dalam hal semacam ini, Indonesia mengalami kemunduran
untuk kaum mudanya.
Hal ini mungkin disebabkan karena tidak aktifnya para orang
tua untuk memberikan petuah dan nasihat pada kaum muda saat ini, berbeda dengan
kaum muda masa dulu yang harus selalu tunduk dengan nasihat-nasihat itu. Tokoh
‘saya’ sebelumnya berfikiran, bahwa ia tidak akan menerapkan cara pandang
orang-orang tua pada masanya pada masa sekarang. Mungkin hal ini sama dengan
prisip kaum-kaum muda masa dulu yang tidak akan menekan kaum muda saat mereka
telah menjadi orang-orang tua. Kini tokoh ‘saya’ telah merubah pandangannya, ia
dan orang-orang tua harus membenahi akibat
kesalahan cara pandang mereka yang menyebabkan kaum muda sekarang
mengalami kemunduran.
DAFTAR
RUJUKAN
Navis. 1986. Rubuhnya Surau Kami . Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
2010 .
Sinopsis Dari Masa Ke Masa .(Online).(http://goesprih.blogspot.co.id/2010/07/aa-navis-dari-masa-ke-masa.html).
di akses tanggal 09 Desember 2016
2012. Menganalisi Karya Sastra dengan Menggunakan Pendekatan
Mimetik. (Online) (Https://Www.Scribd.Com/Doc/21268709/2012/Menganalisis-Karya-Sastra-Dengan-Menggunakan-Pendekatan-Mimetik).
Di akses tanggal 10 Desember 2016
2012.
Analisis Teori Mimetik. (Online). http://rsbikaltim.blogspot.co.id/2012/02/analisis-teori-mimetik.html.
Di akses tanggal 10 Desember 2016
[1]
2010 . Sinopsis Dari Masa Ke Masa .(Online).(http://goesprih.blogspot.co.id/2010/07/aa-navis-dari-masa-ke-masa.html). di akses tanggal 09 Desember
2016
[2]2012. Menganalisi Karya Sastra
dengan Menggunakan Pendekatan Mimetik. (Online) (Https://Www.Scribd.Com/Doc/21268709/2012/Menganalisis-Karya-Sastra-Dengan-Menggunakan-Pendekatan-Mimetik). Di akses tanggal 10 Desember
2016
[3]
2012. Analisis Teori Mimetik. (Online). http://rsbikaltim.blogspot.co.id/2012/02/analisis-teori-mimetik.html.
Di akses tanggal 10 Desember 2016